Berikut akan kami informasikan tentang sejarah Agama dan
Filsafat Taoisme yang kami ambil dari http://agama.kompasiana.com/2010/06/25/sejarah-agama-dan-filsafat-taoisme/
Sejarah Agama dan Filsafat Taoisme
Oleh.
Mohammad Takdir Ilahi
(Mahasiswa
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN
Jogjakarta)
Perbincangan
seputar munculnya agama-agama di dunia, harus diakui tidak bisa lepas dari
sejarah manusia. Sebagaihomo religious, mahluk agamis dan
mahluk fitrah, maka sejarah manusia adalah sejarah agama, yaitu
cara indah yang dipergunakan ummat manusia yang berbeda-beda untuk berkembang
dan menuju pengetahuan yang lebih benar dan cinta yang lebih mendalam kepada
apa yang dipercayai sebagai Tuhan.[1]
Dalam
konteks ini, manusia memiliki kemampuan untuk memperolah kearifan dan identitas
diri melalui proses spiritualitas yang dijalaninya sehingga menemukan makna dan
tujuan hidup di dunia. Hal ini disadari, karena manusia dibekali dengan
kekuatan akal yang mampu membawa progresifitas dalam kehidupan pribadinya,
termasuk proses pencarian untuk memiliki kepercayaan tertentu terhadap
agama. Tak heran, kalau Fredrich Max Muller, sebagaimana dikutip Amin
Abdullah, bahwa “the real history of men is the history of religion”.[2]
Ketika
sistem kepercayaan terhadap sesuatu semakin menguat, maka mereka mulai
membangun basis teologi, etika, maupun konsep ajaran yang memuat kepercayaan
tersebut secara transparan. Dari sinilah muncul suatu keyakinan untuk
menjadikan sistem kepercayaan itu menjadi sebuah agama baru bagi mereka.
Walaupun sistem kepercayaan tersebut tidak berlandaskan pada wahyu Tuhan,
maupun kekuatan langit yang mengiringi perjalanan spiritual mereka, namun
manusia mampu mengurai basis teologi dan ajarannya pada kepentingan seluruh
ummat.
Kendati
demikian, sistem kepercayaan terhadap sesuatu merupakan landasan spiritualitas
yang memperkuat keyakinan seseorang untuk tunduk dan patuh dalam mengikuti
segala konsep maupun nilai fiosofis dari kepercayaan tersebut. Kepatuhan
manusia pada kepercayaan tertentu, dapat dipahami sebagai bentuk kebaktian dan
penyerahan diri secara total kepada Sang Maha yang dianggap suci dan transendence.
Melalui bentuk kebaktian ini, manusia mulai menampakkan sikap kearifan terhadap
dewa-dewa yang dijadikan Tuhan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Tulisan
ini, semata-semata ingin memberikan pemahaman kepada kita semua tentang sejarah
taoisme yang jarang sekali muncul dalam konteks keindonesiaan. Di samping itu,
saya akan mencoba melakukan suatu analisis sintesis terhadap setting
historis, konsep ajaran, filsafat, maupun relevansinya dengan
faham-faham kepercayaan yang tergolong taoisme.
Secara
sederhana, saya akan menguak sejauhmana progesifitas taoisme dalam memberikan jalan
petunjuk dan keharmonisan alam kepada manusia, sehingga memperkuat keyakinan
seseorang dalam mengikuti berbagai cara pandang pemikiran taoisme tentang alam
dan manusia. Hal ini disadari, karena taoisme memiliki konsep dan ajaran yang
banyak diadopsi oleh agama lain di dunia, termasuk Hindu, Kristen, Budha, dan
agama lain, yang turut mewarnai kemunculan taoisme dalam percaturan sejarah
ummat manusia.
Hemat
saya, kajian tentang taoisme dalam ranah agama-agama menjadi topik yang cukup
menarik, mengingat sejarah perjalanan taoisme yang pernah kita baca penuh
dengan pesan-pesan kebajikan dan tuntunan hidup bagi ummat manusia. Sebagai
pemerhati filsafat China, saya memahami taoisme sebagai sebuah jalan keutuhan,
keseimbangan, dan keserasian. Sebagaimana agama-agama lain, taoisme turut serta
dalam memberikan sumbangan pemikiran tentang harmonisasi alam semesta dengan
tetap mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan alam guna mencapai kedamaian
dunia. Itulah sebabnya, taoisme lebih bersifat filosofis ketimbang agamis,
karena memang taoisme merupakan jalan untuk menciptakan dan mengarahkan
perubahan, bukan sebaliknya menentang dan meresistensi perubahan itu sendiri.
Berangkat
dari analisis inilah, maka saya mencoba mendiagnosakan konsep kunci dan
pemikiran dalam taoisme yang lebih substansial dan integral, sehingga kita bisa
mencerna seluk-beluk pemahaman tentang jalan hidup yang diyakini mampu
menciptakan kesadaran universal bagi ummat manusia. Sejarah telah mencacat,
bahwa pemikiran tentang taoisme erat kaitannya dengan mutiara-mutiara hikmah
yang dapat kita petik sebagai pelajaran yang mencerahkan dalam lapisan-lapisan
primordial pemikiran manusia. Kita menghendaki adanya suatu kebajikan yang
mampu mengubah situasi sulit menjadi lebih mudah, dan karena itu dibutuhkan
jalan kesederhanan guna menumbuhkan kesadaran imajiner dalam pikiran manusia
itu sendiri.
Dengan
menjelajahi tradisi taoisme yang sangat komplek ini, kita akan menggali
bagaimana orang-orang bijak pada zaman dahulu menguraikan dan menafsirkan
keberadaan kita dan menyatuka kita kembali pada sumber-sumber yang abadi, yakni
tao itu sendiri. Sebagai sebuah jalan yang memiliki energi dahsyat, Tao layak
dipelajari dan dikaji secara lebih mendalam, mengingat di dalamnya terbingkas
pesan spiritual yang mengandung nilai-nilai filosofis bagi terciptanya
kedamaian dunia.
Walaupun
kita menyadari bahwa akar Taoisme berasal dari ribuan tahun yang lampau, akan
tetapi pengetahuan yang selama berabad-abad ini, ternyata tetap memiliki
manfaat yang besar bagi dunia modern sebagaimana halnya pada dinasti Tang. Bagi
saya, ajaran kunci Taoisme telah mengubah wajah dunia yang kelam dan banal
menjadi lebih lunak dan kontekstual, sehingga penganutnya pun merasakan suatu
kedamaian dan kejernihan pikiran yang tak terbayangkan. Pendek kata, kekuatan
utama ajaran Taoisme dalam mewarnai sejarah panjang kehidupan manusia adalah
terletak pada keseimbangan dalam menjaga keharmonisan alam dan pikiran bawah
sadar manusia, sehingga tercipta bangunan spiritualitas yang egaliter dan
merakyat.
Itulah
sekilas dan sekelumit tentang pentingnya menelusuri jejak-jejak perjalanan
Taoisme yang berkibar di negeri China. Sepenggal analisis yang telah saya
kemukakan dalam bab pendahuluan ini, kiranya bisa membuka cakrawala kita dalam
memahami ajaran-konsep kunci Taoisme itu sendiri. Tidak berlebihan kiranya bila
pada pembahasan selanjutnya, kita akan lebih luas mengkaji berbagai pandangan
dan argumentasi tentang kebajikan tertinggi dalam Taoisme, sehingga dapat
direfleksikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah sebabnya, tema Taoisme
sangat relevan dan urgen untuk kita kaji lebih mendalam agar pengetahuan dan
wawasan kita mengenai sejarah agama-agama (religions historical) di
negeri Sung Gu Kong ini dapat bermanfaat bagi pengembangan lebih lanjut terkait
perbandingan agama.
Sejalan
dengan itulah, Taoisme kembali mengajarkan akan pentingnya relasi manusia
dengan alam, terutama menyangkut harmonisasi alam itu sendiri. Secara
transparan, saya akan menyajikan perbincangan seputar Tao ini pada kerangka
analisis yang lebih memukau hingga pada akhirnya kita bisa menemukan intisati
dan hikmah yang terefleksi dalam ajaran Tao itu sendiri. Dengan kata lain, saya
akan berupaya membawa pembaca pada analisis historis, sosiologis, dan filosofis
dalam meneropong jejak-jejak Taoisme itu sendiri. Untuk itulah, demi
memperjelas akar persoalan dalam penulisan makalah ini, terlebih dahulu saya
akan memberikan rumusan masalah dari berbagai varian kajian yang masuk dalam
konteks ajaran Taoisme itu, sehingga kita bisa menemukan inti persoalan yang
akan dikaji dan jawaban atas masalah itu dapat dicerna dengan mudah.
B. Menakar Sekilas Sejarah Kelahiran Taoisme
Agama Tao atau yang lebih mudah kita
kenal dengan Taoisme merupakan agama yang berasal dari Tiongkok. Dari data-data
yang ada, maka Agama Tao termasuk agama yang tertua di dunia ini, umumnya
diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga merupakan agama yang
dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa. Data ini tertuang dari tulisan Lu
Xun seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis bahwa agama Tao adalah
agama dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa. Tidak heran bila pada akhirnya,
agama Tao sampai saat ini masih menjadi agama yang banyak dianut oleh
masyarakat Tionghoa.
Akar
historisnya, memang harus diakui bahwa di Tiongkok, Taoisme merupakan salah
dari apa yang dinamakan “tiga ajaran” (bersama-sama dengan Buddhisme dan
Konfusianisme). Taoisme mengalami perubahan secara bertahap secara perlahan dan
merupakan penyatuan yang terus menerus antara berbagai macam aliran pemikiran
kuno di Cina. Perpaduan dari berbagai macam aliran pemikiran inilah yang
menjadi cikal bakal munculnya ajaran Taoisme di tengah-tengah masyarakat
Tionghoa yang memiliki kekayaan budaya melimpah.
Kendati
demikian, kita tidak bisa memastikan secara detail bagaimana kelahiran,
pertumbuhan dan perkembangan Taoisme ini dalam mengarungi sejarah peradaban
ummat manusia. Kita juga tidak mengetahui tanggal yang pasti mengenai kelahiran
Taoisme, dan tanda-tanda keberadaan unsur-unsur luar yang diserap tidak pernah
lenyap darinya. Apabila kita memandang unsur-unsur luar yang memperkaya Taoisme
(yang diperoleh melalui inspirasi-inspirasi baru), maka kita akan melihat
betapa terbukanya agama ini. Sebuah agama yang memberikan kebebasan kepada
pemeluknya agar senantiasa memperteguh keimanan dengan jalan menjaga
keharmonisan hati dan pikiran, sehingga bisa diaktualisasikan dalam konteks
relasi dengan alam semesta.
Seiring
dengan waktu, Taoisme terus berkembang dan mulai menampakkan kegigihannya dalam
menciptakan keharmonisan dan kedamaian dunia. Tidak mengherankan, bila Taoisme
disebut sebagai agama yang selalu mengalami perkembangan dan evolusi, sehingga
selain sulit untuk menentukan waktu kelahirannya, juga sulit untuk menentukan
batas-batasnya. Itulah sebabnya, Livia Kohn (1991)[3] mengatakan bahwa Taoisme tidak pernah merupakan suatu
agama yang terpadu, dan terbentuk dari kombinasi (berbagai) ajaran yang
didasarkan atas beraneka macam sumber asli. Dengan kata lain, Taoisme bukanlah
agama yang teraksentuasi pada satu titik ajaran semata, melainkan merupakan
perpaduan dari ajaran-ajaran sebelumnya yang telah berkembang dan menjadi
bagian dari sumber-sumber asli kebudayaan Cina.
Secara
kebetulan, kita memang tidak tahu pasti kelahiran Taoisme dalam sejarah
peradaban ummmat manusia, namun untuk mengetahui asal muasalnya kita dapat
kembali pada 5000 tahun yang lalu, tatkala sekelompok suku berdiam di tepi
Sungai Kuning (Huang He) di Tiongkok Utara. Suku bangsa ini masih belum
memiliki identitas kebangsaan. Mata pencaharian sehari- hari mereka adalah
berburu, memancing, memelihara ternak, serta bercocok tanam gandum dan
padi-padian.
Pada
masa itu mereka masih harus menaklukkan kekuatan-kekuatan alam, seperti amukan
Sungai Kuning atau hewan-hewan buas yang memangsa ternak mereka. Legenda
menyebutkan mengenai pemimpin-pemimpin mereka (kepala suku) yang memiliki
kekuatan gaib luar biasa, di mana pemimpin-pemimpin tersebut mampu menaklukkan
kekuatan gaib serta banjir Sungai Kuning. Pemimpin itu adalah bernama Yu yang
dianggap memiliki kekuatan luar biasa dalam mengatasi berbagai bencana yang
datang secara tiba-tiba.
Legenda
mengatakan bahwa Yu tidak memiliki ibu dan ia muncul secara langsung dari tubuh
ayahnya yang bernama Kun. Saat itu Kun ditugaskan oleh pemimpin suku bernama
Shun, untuk menanggulangi banjir Sungai Kuning. Ketika gagal Kun dihukum mati
dan mayatnya dibiarkan tergeletak pada sisi gunung. Sementara itu selama tiga
tahun, Yu berada dalam tubuh ayahnya yang sudah meninggal. Ajaibnya, ternyata
Kun dapat hidup kembali dan menjelma menjadi seekor beruang coklat, ia membelah
perutnya sendiri dan mengelurkan putranya, yang bernama Yu.
Legenda-legenda
yang dihubungkan dengan Yu memperlihatkan bahwa ia merupakan seorang shaman.
Mircea Eliade dalam studinya mengenai shamanisme menyebutkan hal-hal berikut,
yang merupakan pengalaman spiritual umum seorang shaman: terbang ke langit,
melakukan tarian untuk mendatangkan kekuatan (seperti yang dilakukan dukun Indian
Amerika serta suku-suku di Afrika), penerimaan pesan- pesan dari para makhluk
suci, kemampuan untuk berbicara dengan hewan, kekuatan atas unsur-unsur alam,
penyembuhan, serta pengetahuan mengenai tanaman obat-obatan.
Berangkat
dari akar kelahiranTaoisme yang menuai perdebatan ini, saya akan mencoba
menelusuri lebih mendalam terkait dengan penggunaan nama Tao sebagai organisasi
keagamaan bagi masyarakat Tionghoa. Di sadari atau tidak, kemunculan Taoisme di
tengah-tengah masyarakat Tionghoa, ternyata telah memberikan perubahan dan
warnai yang berbeda dalam konteks keberagamaan mereka, sehingga misteri
spiritualitas yang mereka anut pun berubah sekita manakala ajaran Taoisme
berkembang pesat dan menjadi bagian dari kegiatan keagamaan bagi masyarakat
secara menyeluruh.
Tidak
heran, bila agama Tao atau Taoisme diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Wang
Di), yang kemudian dikembangkan langsung oleh Lao Zi dan terorganisasi menjadi
sebuah institusi Keagamaan (Agama Tao) yang lengkap oleh Zhang Tao Ling.
Pergulatan pemikiran yang berkembang ketika itu, secara perlahan-lahan bisa
mempengaruhi aktifitas keagamaan masyarakat Tionghoa sendiri. Bila ditelisik
secara lebih seksama, ternyata dibalik kekuatan ajaran Taoisme, mengandung
unsur-unsur keharmonisan dan keselarasan yang mampu menciptakan tatanan sosial
yang lebih mencerahkan. Kekuatan ajaran yang terrefleksi dalam bingkai Taoisme,
secara tidak langsung juga memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku
kemanusiaan masyarakat sehingga nilai substantif yang terkandung di dalamnya
membawa perubahan besar bagi penganutnya.
Perjalan
sejarah yang panjang ini, membuat Taoisme mulai dirilik oleh masyarakat sekitar
sehingga cakrawala pemikiran yang tersirat dari pesan-pesan dasar Taoisme
mengakar kuat dengan perlahan dan menjanjikan. Taoisme selain telah berjasa
dalam menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat di Tiongkok selama beribu-ribu
tahun, ia juga telahmemberikan banyak sumbangan terhadap kemajuan sastra,
budaya, ilmu astronomi, ilmu pengobatan, filsafat dan cara berpikir masyarakat
Tionghoa dimanapun mereka berada.
Pada
jaman FU XI sekitar tahun 5000 SM, FU XI telah menggunakan teori dan
perhitungan BA-KUA (Delapan Penjuru) untuk menjelaskan tentang sistem
Astronomi, menentukan hal-hal yang penting yang berhubungan dengan ramalan
kehidupan seseorang, serta menentukan cara-cara ritual penyembahan Dewa/Dewi.
Sampai
pada jamannya Wang Di (Kaisar Kuning) 2698 SM, mulai dikemukakan teori tentang
kaidah-kaidah alamiah dan teori tentang masalah kehidupan dan kematian. Wang Di
juga merupakan tokoh yang pertama menjalankan pemerintahannya berdasarkan
ajaran Tao. Pada jaman Dinasti Kerajaan Chow, muncul seorang bijaksana yang
mempunyai nama besar yaitu Lao Zi. Beliau pernah bertugas sebagai pejabat yang
menjaga dan merawat perpustakaan buku-buku yang dimiliki kerajaan Chow. Karena
itu, beliau mempunyai kesempatan untuk membaca semua buku-buku dan
menguasai teori-teori yang diajarkan oleh Wang Di.
Ini
membuat beliau sangat menyanjung keagungan alam yang telah menghidupi semua
makhluk hidup, termasuk manusia, namun beliau juga mengajarkan bahwa dibalik
semuanya itu pasti ada yang menciptakannya yang bersifat maha Agung; maha Mulia
dan maha Esa, hanya saja sulit bagi beliau untuk memberikan sebutan atau nama
yang tepat bagi Pencipta Alam Semesta yang maha Besar ini.
Akhirnya
Laozi meminjam kata “Tao”, untuk memberi nama bagi “sumber” dari segala sesuatu
yang tercipta di alam semesta ini. Menurut Lao Zi, Tao adalah sumber
terciptanya segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Cara berpikir
beliau jauh melampaui jamannya ketika itu, ditambah ajaran-ajarannya yang
menjunjung tinggi kebajikan dan menentang kebiadaban, maka akhirnya ajaran Lao
Zi bersama-sama ajaran Wang Di dikenal orang sebagai ajaran Wang-Lao (Wang-Lao
Tao/ Filsafat ajaran Wang Di dan Lao Zi) sampai sekarang.
C. Melacak Tokoh-Tokoh Taoisme
Sekarang
tiba saatnya, saya memaparkan tokoh-tokoh Taoisme yang sangat berpengaruh pada
kemajuan peradaban dan kebudayaan masyarakat di Cina. Sebagai sebuah ajaran dan
pemikiran keagamaan, Taoisme layak ditempatkan secara seimbang dalam potret
sejarah agama-agama di dunia. Demikian halnya dengan tokoh pendiri dan
pencetus ajarannya yang dianggap fenomenal dan mewarnai peradaban ummat
manusia.
Bila
kita mengacu pada sejarah peradaban dunia, ternyata pendiri utama Taoisme
adalah Lao Tzu (lahir 604BC) kemudian dilanjutkan oleh Chuang
Tzu. Dalam perkembangannya, Taoisme kemudian membangun kuil-kuil suci
sebagai tempat beribadat. Selain itu meja sembahyang disebut juga tempat suci,
selain kuburan. Ajaran Taoisme ditulis Lao Tzu dalam “Tao Teh Ching”
(Jalan dan kekuatannya). Dengan kata lain, Taoisme merupakan sebuah ajaran yang
diberikan oleh seseorang yang pada saat itu disebut seorang nabi yaitu nabi Lao
Tzu.[4]
Lao
Tzu lahir di Cheu, yang secara harfiah berarti “negara segala
penjuru” (state of Everywhere). Dalam artian, bahwa pemaknaan
secara harfiah ini mengindikasikan adanya satu anggapan bahwa Lao Tzu memang
diutus untuk menyelamatkan peradaban manusia dari angkara murka dan kerasukan.
Tidak heran, bila ahli sejarah cina, Ssu-ma Ch’ien (145-86 SM), menyatakan
bahwa identitas dan sejarah pribadi Lao Tzu masih misterius, seperti Tao itu
sendiri. Menurut legenda yang beredar, Lao Tzu dilahirkan dalam keadaan tua, ia
mendekam di rahim ibunya selama enam puluh tahun. Ia tinggal di Bramble Lane
dan bekerja sebagai juru arsip di perpustakaan kerajaan. Confusius yang lebih
muda lima puluh tahun dari Lao Tzu sering meminta nasihat kepadanya dan
menanggapinya sebagai sumber kebijaksanaan yang paripurna. Setelah beberapa
tahun tinggal di kota, Lao Tzu merasa kecewa atas fenomena korupsi di
sekelilingnya.[5]
Sebelum
melewati gerbang barat laut, Lao Tzu mengajarkan kepada penjaga gerbang
ajaran-ajarannya yang berbentuk syair, yang ia namakan sebagai Tao Te
Ching, dan sungguh beruntung bagi generasi-generasi berikutnya, penjaga
gerbang tersebut menulis kembali ajaran-ajarannya yang ia dengar. Penjaga
gerbang sangat terkesima oleh apa yang ia dengar kemudian memutuskan untuk
menyertai perjalanan Lao Tzu, dan meninggalkan catatan-catatan tersebut di
belakang. Lao Tzu menghilang dan tidak pernah ditemukan kemana arahnya. Ada
yang mengatakan bahwa ia keluar dari agama Buddha dan riwayat lainnya ia
menjadi Buddha. Keyakinan Taoisme akan potensi keabadian yang didasarkan pada
hilangnya Lao Tzu masih bertahan sampai sekarang.
Manusia
dalam pandangan Taois adalah bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tao
dan manusia perlu mengalami perubahan yang harmonis dengan alam. Jalan
keselamatan dalam Taoisme adalah sikap berdiam diri secara pasif dan
perenungan, kontemplasi dan meditasi mistik dan “usaha penyatuan dengan Tao
yang tidak bernama”. Bila semula para pengikut Taoisme lebih bersifat usaha
pencarian secara pribadi dalam perkembangan berikutnya mereka membentuk
kelompok religi dengan kuil-kuil dan patung-patung. Semula ajaran Taoisme
bersifat filosofis[6],
tetapi kemudian ajaran ini berkembang menjadi mistis dan magis dengan
upacara-upacara yang bisa menjurus pada tahayul, bahkan aktifitas keagamaan
mereka semakin kental dan menjadi bagian utuh dari ajaran Taoisme itu sendiri.
Selain
Lao Tzu, tokoh kenamaan Taoisme adalah Chuang Tzu yang sangat bijak dan mampu
menampilkan metafora-metafora mistis dan spiritualitas dalam kehidupan
masyarakat Cina. Tidak heran bila kita beralih pada tokoh yang disebut Chuang
Tzu “empu Chuang”, kiranya analisis historis kita akan mempunyai dasar dan
landasan yang kuat guna memperjelas tokoh-tokoh Taoisme yang sangat kontributif
bagi pengembangan ajaran-ajaran suci dalam agama tersebut. Dalam sejarah
peradaban dunia, ia dilahirkan di suatu tempat di Cina Tengah yang kini
terdapat di provensi Hanoi.
Kita
memang harus mengakui bahwa Chuang Tzu memiliki sikap bijak dalam memimpin dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat, sehingga ajarannya dapat diterima
dengan mudah. Perlu diketahui, Chuang Tzu adalah tokoh Taoisme yang tidak mudah
terbuai oleh jabatan sebagai penguasa waktu, bahkan ketika diminta untuk
menjadi perdana menteri, ia pun menolaknya dengan tegas.[7] Bagi
saya, sikap Chuang Tzu merupakan potret pemimpin yang patut diteladani, karena
secara jenawa ia bisa menjaga wibawanya sebagai pemimpin spiritual, bahkan
kecerdasannya dalam mengayomi masyarakat semakin membuktikan bahwa ia adalah
tokoh penting dalam ajaran Taoisme. Selain itu, Chuang Tzu memiliki pemahaman
dan penafsiran bahwa orang-orang yang mengikuti Tao berarti ia memiliki
tubuh yang kuat, dan berpikir jernih serta mampu menciptakan kesadaran ilmiah
yang membantu cakrawala masyarakat pada satu kesatuan yang utuh sehingga
nilai-nilai filosofis dalam ajaran Tao itu bisa diterima dengan mudah oleh
masyarakat Cina.
D. Penafsiran Kitab-Kitab Taoisme
Sebagai
sebuah ajaran yang mengandung unsur-unsur filosofis dan metafisis, Taoisme
diwadahi oleh sebuah kitabsuci yang bisa menuntut pemeluknya dalam memahami
arti penting kehidupan ini. Adalah Lao Tzu yang pertama kali menulis kitab yang
dikenal dengan Tao Te Ching. Kitab ini bila kita terjemahkan
memiliki makna “aturan mengenai Jalan dan Kebajikan”, sehingga pemeluknya pun
bisa mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci tersebut.
Kitab Tao Te Ching secara sederhana mengungkapkan berbagai
pesan yang penuh damai dan harmoni bagi perjalanan ummat manusia.
Lebih
tepatnya, kitab ini berisi sebuah karya ringkas, hanya 5000 kata yang
tersirat di dalam surat-surat yang diberikan kepada sang penjaga gerbang
tersebut. Namun, selama berabad-abad ia memiliki pengaruh yang mendalam bagi
banyak orang, beratus penterjemah, dan tafsir Tao Te Ching terus
menerus ditulis. Pada Tahun 1973, versi lainnya di temukan di gua Ma-wang-tui,
China tengah, yang bertanggalkan 168 SM, edisi tertua yang beredar bab pada
naskah yang ditemukan di Ma-wang-tu berbeda dari tafsir-tafsir tradisional. Dan
hingga sekarang ajaran-ajaran Tao ini telah tersebar di mana-mana hingga
penjuru dan di seluruh pelosok dunia pasti ada yang mengikuti ajaran-ajaran Tao
meskipun hanya sedikit.[8]
Maka
dari itu Tao sendiri juga mempunyai kitab suci yang dinamakan Tao Tee
Cing juga yang tadi telah disebutkan bahwa Lao Tzu memberikan surat
yang berisi ajaran-ajaran yang terdiri dari 5000 kata. Dalam 5000 kata itu kita
diberikan sebuah ajaran yang bertema “Dari isi kembali isi dan dari kosong
kembali kosong.” Yang pada intinya mengajarkan pada kita bahwa kita harus
mensyukuri segalanya yang telah diberikan oleh Tuhan.
Pada
titik inilah kitab Tao Tee Ching ini mengandung unsur-unsur
kebijakan yang sangat luas dan memberikan pesan-pesan moral bagi masyarakat
Tionghoa. Dengan kata lain, Taoisme adalah sumber segala sesuatu. Ia tak
bernama, tak dapat dilihat, dan tidak dapat dipahami. Ia tak terbatas dan tidak
dapat habis atau musnah. Apa yang disebut dengan Tao ini, telah mengatasi
segenap perubahan dan permanen. Pengertian mengenai Tao tersebut terdapat pada
kutipan berikut ini, bahwa Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang
sebenarnya atau yang abadi; dan nama yang dapat diberikan, bukanlah nama yang
sejati.
Lao
Zi mengakui bahwa nama “Tao” merupakan sesuatu yang terpaksa. Beliau berikan.
Kata-kata dan bahasa memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan suatu Kebenaran
sedangkan, sehingga Kebenaran Sejati atau Terunggul tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata ataupun bahasa. Mencoba memahami Kebenaran Terunggul dengan
menggunakan kata- kata yang terbatas tersebut hanya akan menimbulkan
penyalah-tafsiran. Dengan kebijaksanaan yang tinggi Beliau mengetahui, bahwa
Tao sebagaimana nama yang diberikan tersebut, adalah sumber dari segala benda
dan makhluk.Tiada nama, itulah kondisi permulaan terjadinya Langit dan Bumi.
Setelah ada nama itulah sumber dari segala benda.
Meskipun
Tao adalah sumber dari segala sesuatu yang hidup, ia bukanlah suatu dewa atau
roh. Pandangan ini cukup berbeda dengan pandangan shamanistik mengenai alam
semesta. Menurut Tao Te Cing, langit, bumi, sungai, dan gunung
gunung merupakan bagian dari suatu kekuatan yang lebih besar dan mencakup
semuanya. Kekuatan ini yang dikenal dengan istilah Tao, dimana ia merupakan
sesuatu kekuatan tak bernama serta berada di balik bekerjanya alam semesta.
Meskipun
demikian Tao Te Cing mencatat bahwa Tao ini tidak sepenuhnya
netral, pada bab 25 dan 81 disebutkan bahwa Tao ini bertujuan untuk memberikan
kebaikan pada yang lainnya dan tidak menimbulkan bahaya.”Jalan Langit adalah
bertujuan memberikan keuntungan pada yang lainnya dan tidak menyebabkan bahaya.
Beberapa penafsiran lain mengenai buku Tao Te Ching, diantaranya adalah
sebagai berikut :
Pertama, Taoisme
Rakyat. Taoisme rakyat merupakan aliran kepercayaan yang telah merakyat dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka aliran ini kemudian mengalami
perkembangan yang begitu pesat karena telah merakyat tadi. Namun, Taoisme
rakyat ini kemudian menjadi tidak murni lagi ketika banyak sekali orang awam
memahami hal tersebut dengan berbeda. Karena banyak sekali penafsiran dan
jamahan oleh orang-orang, maka Taoisme rakyat tak lagi menjadi pedoman yang
paling murni dalam ajaran Taoisme. Menurutnya sebuah ajaran merupakan suatu
konsep yang terlalu halus untuk dapat ditangkap oleh pikiran atau jiwa yang
rata-rata saja.
Kedua, Taoisme
Esoterik. Gaya tarik jenis Tao ini adalah terletak pada segi batiniah manusia
yang dilawankan dengan segi lahiriahnya. Manusia baik dapat dilihat dari apa
yang dikatakannya, perbuatannya, dan perasaan lahir yang ditunjukkannya, maupun
segala sesuatu yang ada di dalam dirinya seperti perasaan pada dirinya. Taoisme
Esoterik ini muncul ketika alam pikiran Cina menemukan dimensi batiniahnya dan
terpesona olehnya.
Ajaran
Tao ini selalu mengedepankan kesenangan alam rohani yang begitu indah. Menurut
ajarannya bahwa kehidupan ini selalu berlumuran dengan keresahan dan
penderitaan. Oleh karena itu, maka mereka beranggapan bahwa dunia rohaniahlah
yang bisa menyelesaikan masalah penderitaan dan keresahan yang disebabkan oleh
dunia. Setelah manusia merasakan dan menelurusi kehidupan yang begitu susah,
maka seseorang kemudian baru dapat mencapai apa yang disebut dengan kesadaran
murni. Jiwa yang murni hanya dapat dikenal dalam kehidupannya yang terhias dan
tanpa noda, hanya jika segala sesuatu telah bersih barulah ia menampakkan
dirinya, karena itu, diri sendiri disembunyikannya dan emosi yang mengganggu
harus dimusnahkan.
Puncak
pemahaman dalam Taoisme Esetorik tercapai bersamaan dengan dampak finalitas,
bahwa segala sesuatu akhirnya kembali ke tempatnya. Keadaan tersebtu, tidaklah
dapa digambarkansebagai sekedar sesuatu yang menyenagkan. Persepsi alngsung
tentang sumber kesadaran seseorang sebgai kessadaray nyang tenagn dan mantap.
Ketiga, Wei
Wu Wei (Keheningan yang Kreatif). Sifat dasar kehidupan yang selaras dengan
alam semesta adalah wu wei. Konsep ini sering diterjemahkan sebagai tidak
berbuat apa-apa atau tidak bergerak. Tetapi jika terjemahan itu berarti suatu
sikap yang kosong atau menahan diri secara pasif, maka pengertian tersebut
tidak tepat.
Wei
wu wei adalah ungkapan paradoksal yang merupakan kunci mistisisme Cina dan
tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Wei artinya berbuat, bertindak,
tetapi kadang berarti lain, tergantung cara mengatakannya. Wu artinya negatif,
tidak, tanpa. Terjemahannya secara maknawi ialah “Berbuat tanpa bertindak”.
Dikenakan pada seseorang berarti diam, tenang, pasif, pasrah sehingga mencapai
Tao, hakekat terakhir, alam wujud. Artinya bertindak melalui Tao tanpa upaya kesadaran
diri. Juga berarti hanyut dalam persatuan dengan alam, yang dengan itu
memperoleh kesadaran semesta.
E. Interpretasi Jalan Tao
Sekelumit
cerita tentang sejarah panjang Taoisme belum cukup kiranya bila kita
mengabaikan penafsiran tentang Tao itu sendiri. Pemaknaan terhadap istilah Tao
dapat memperkuat pemahaman kita dalam menelusuri pesan yang tersirat di
dalamnya, sehingga kita bisa mencerna dan merenungkan makna kehidupan ini.
Itulah mengapa, penafsiran Tao dapat dijadikan sebagai jalan menuju keabadian
dan kesempurnaan hidup yang terpancar dalam hati dan perbuatan, sehingga
menciptakan keharmonisan bagi sesama dan alam semesta.
Sejalan
dengan itu, penafsiran Tao dapat membawa kita pada satu pandangan yang lebih
menjanjikan guna menyikapi kompleksitas kehidupan yang semakin tidak
karuan. Maka, ajaran Tao lahir untuk merespon ajaran Confucius yang
berpusat pada moralitas, masyarakat dan politik. Keharmonisan dengan alam dapat
dicapai melalui jalan yang disebut dengan Tao, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan
Cina itu sendiri.[9]
Sebagaiman
diketahui sebelumnya, istilah Tao lazimnya berarti suatu jalan atau suatu cara
bertindak. Dengan kata lain, istilah Tao mengacu pada keseluruhan segala
sesuatu yang setara dengan apa yang oleh sejumlah filosuf Barat disebut “yang
mutlak”. Tao merupakan landasan dasar yang menyusun segala sesuatu dan oleh
karena itu bersifat sederhana, tanpa bentuk, tanpa hasrat, tanpa upaya dan
berpuas diri sepenuhnya. Tidak heran, bila Tao sudah ada sebelum adanya langit
dan bumi. [10] Dengan kata lain, bahwa keberadaan manusia di dunia
sangat ditentukan oleh elemen dasar terkait rentang waktu penciptaan benda-benda
dan lembaga-lembaga dari masa ke masa, sehingga manusia semakin jauh dari
keberadaannya yang pertama kali.
Berangkat
dari pemahaman inilah, maka saya mencoba menelisik sekilas tentang makna Tao yang
kerapkali mewarnai perjalanan agama-agama di dunia. Pertama, Tao
dapat diartikan sebagai jalan dari kenyataan terakhir. Dalam pengertian dan
pemahaman terhadap Tao adalah pemahaman terhadap kesadaran mistik yang tidak
dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, bahkan ia mengartikannya sebagai asas
yang menyusun segala sesuatu. Secara eksplisit, makna Tao memang sangat
filosofis karena dicerminkan dengan jalan hidup manusia dan alam semesta.
Sekali
kali saya tegaskan bahwaTao dipahami tampak sederhana, tanpa
bentuk, tanpa gerak, tanpa hasrat, tanpa upaya. Ia ada sebelum adanya langit
dan bumi. Karena adanya penciptaan dan berkembangnya peradaban manusia kian
jauh dari Tao jalan yang benar dan penuh kebajikan spiritual.
Itulah sebabnya, Tao yang dapat dibayangkan bukanlah Tao sesungguhnya. Dengan
kata lain dalam semboyan Tao adalah “Mereka yang mengetahui tidak akan bicara,
sedangkan mereka yang bicara tidak mengetahui”. Tao kadang
merupakan kata kerja dan kata benda, misalnya dalam baris pertama sajak
pertama Tao Te Ching dinyatakan, Jalan (Tao) yang
dapat dijalani atau ditempuh bukan jalan abadi nama yang dapat diberi nama
bukan nama yang sesungguhnya. Tao juga diberi makna sebagai Dzat Ilahiyah,
yaitu keadaan sang pencipta sebelum turun ke alam penciptaan.
Kedua, Tao diartikan
sebagai jalan alam semesta. Dalam pengertian yang kedua Tao diartikan untuk
mengambil wujud fana’. Dan memberi tahu segala sesuatu. Ia hanya besifat
rohanian. Ia menyesuaikan hakikatnya yang penuh gairah, menjernihkan kepenuhan
dirinya yang tumbuh secara berlipat ganda, meredupkan kemuliaannya yang gilang
gemilang, dan mengambil rupa sebagai debu. Karena pada dasarnya ia bukan benda
melainkan roh, ia tidak dapat dimusnahkan. Kita juga bisa mengartikan bahwa
Jalan Taobukanlah jalan yang kuno, asing, dan mistis, lebih dari pada itu Tao bersifat
lintas budaya, tidak eksis, praktis, bahkan cara yang ilmiah untuk melihat
dunia dan tempat kita di dalamnya. Tidak mengherankan bila praktek dan
filosofisnya berlaku dalam berbagai tingkatan-fisik, emosi, psikologis, dan
spiritual.[11]
Ketiga, Tao diartikan
sebagai jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya. Setelah memahami
dan adanya kesadaran yang berdasarkan rohani atau bersifat mistik itu, maka
dalam Tao kemudian memberikan solusi hidup yang harmonis
dengan alam. Yang boleh dikatakan sekarang adalah seperti olah raga yoga.
Dengan kata lain, Jalan Tao adalah jalan untuk memperbaiki diri dan hati kita
yang terselubungi oleh sifat tamak dan rakus. Maka, Jalan Tao harus dipahami
sebagai kekuatan yang membawa petunjuk, sinar putih, dan pencerahan bagi ummat
manusia, sehingga potret kesuciaan dalam jiwa manusia itu bisa dilihat secara
jelas.
F. Ajaran
dan Konsep Kunci Taoisme
Menelisik
secara lebih mendalam tentang ajaran dan konsep kunci taoisme, memang tidak
semuda apa yang kita bayangkan, karena misteri ajaran Taoisme penuh dengan
mistis dan metafisis sehingga diperlukan kejelihan dalam mencerna pesan-pesan
bijak yang tertuang di dalamnya. Demikian pula dengan konsep-konsep utama yang
terdapat dalam bingkai Taoisme yang telah berkembang sejak ribuan tahun yang
lalu, dimana pemikiran dan gagasan Taoisme teraksentuasi secara lebih kental
bagi kehidupan masyarakat Tionghoa.
Kalau
kita cermati dalam konteks historisnya, ternyata ajaran-ajaran para master Tao bukan
merupakan suatu tradisi dari kebudayaan tertentu,
melainkan lebih merupakan ajaran spiritual bagi para mahluk yang membina kehidupan
spiritual agar dapat hidup dengan tenang
dan damai di dunia. Dimana para master Tao menjalankan pembinaan spiritual, untuk mencapai
Ke-Tunggal-an Agung Tertinggi, sehingga hakikat kehidupan yang dijalaninya
dapat tersentuh dalam sanubari masing-masing individu. Itulah sebabnya,
pembinaan spiritual dalam ajaran Tao menjadi titik kulminasi terciptanya
bangunan perilaku yang berlandaskan pada Jalan Tao itu sendiri.
Para Master Tao di zaman lampau,
membina kehidupan spiritualnya dengan menjalankan kehidupan pertapaan di
tempat-tempat sunyi dan sepi. Para master Tao membina ajaran Tao sebagai
pedoman kehidupannya sehari-hari sehingga segala perbuatan, ucapan, dan
kesadaran para Master Tao, tidak terpisahkan dari ajaran Tao. Di
tempat-tempat sunyi itulah, para Master Tao berupaya mengkontemplasikan dan
merenungi kehidupannya agar memperoleh anugrah dan berkah dari sang Pencipta.
Tidak mengherankan bila penataan spiritual yang mereka bina ditunjukkan bagi
masyarakat yang telah keluar dari kebajikan dan kemuliaan hati sebagai manusia
ciptaan Tuhan.
Menurut para penganut Taoisme,
peradaban hedonistis dan materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk
memulihkan peradaban yang sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan
menyatu dengan alam. Walaupun banyak ajaran Tao yang telah melekat dalam
tradisi masyarakat china. Tetapi saya tetap mengingatkan bahwa, “Ajaran Tao
diturunkan sebagai ajaran yang harus dibina oleh para mahluk, untuk mencapai
Kesempurnaan Agung Sejati. Pencapaian Kesempurnaan Agung Sejati merupakan
tujuan seluruh mahluk yang memahami akan kehidupan spiritual, dan tujuan
pencapaian tertinggi ini merupakan hak setiap mahluk”.
Berangkat dari peradaban yang carut
marut itulah, ajaran Tao dikembangkan secara berkelanjutan agar mudah dipahami
dan dikhayati oleh masyarakat dunia. Sehingga tidaklah benar bahwa ajaran Tao
hanya diperuntukkan bagi masyarakat china. Walaupun pada awalnya ajaran timbul
dari masyarakat china, tetapi ajaran Tao bukan hanya sebagai tradisi dari
masyarakat china tetapi ajaran Tao merupakan ajaran pembinaan kehidupan
spiritual bagi seluruh mahluk yang ingin terbebaskan dari segala penderitaan,
dan membina kehidupan spiritual hingga Pencapaian Agung Sejati.
Dalam Taoisme kita melihat konsep yang
suci yang sebaliknya dari Konghucu. Bila Konghucu lebih menekankan kehidupan di
bumi, Taoisme lebih mengarahkan kepada Tao yang mutlak yang
merupakan transformasi ketuhanan secara folosofis. Tao adalah prinsip semesta
yang mencerminkan perubahan dan juga merupakan pola perilaku manusia (wu-wei).
Tao adalah “jalan realitas
mutlak” atau “jalan alam
semest”‘, dan “jalan yang
mengatur kehidupan.”[12]
Sejalan dengan itu, ajaran Taoisme
berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi
merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang
ada di alam semesta. Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan
kebendaan lainnya adalah De. Gabungan Dao dengan De dikenal sebagai Taoisme yang merupakan
landasan kealamian. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti
air, dan bersifat abadi. Keabadian manusia terwujud disaat seseorang mencapai
kesadaran Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa.
Penganut-penganut Taoisme mempraktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan
menjadi seorang dewa.
Berikut ini, saya akan menjelaskan
secara rincin bagaimana ajaran Tao mempengaruhi pola hidup dan pola pikir
manusia. Pertama, ajaran Tao tentang Jalan Kebajikan bagi
ummat manusia. Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa Tao secara
harfiah berarti jalan yang dilalui seseorang dalam memaknai kehidupan ini dengan penuh
kesungguhan dan ketabahan. Kita bisa mencermati pemahaman Konfucius yang memberi arti Tao sebagai
jalan atau cara bertindak yang benar dan penuh kebajikan dalam kehidupan moral
dan politik. Pendek kata, pengertian ini kata-kata Tao tidak mengandung makna metafisik. Namun tidak
demikian pemahaman penganut Taoisme.
Bagi Lao Tze berbeda, Tao memiliki
pengertian metafisik. Lao Tze, sebagai tokoh utama Taoise mengartikan Tao
sebagai asas yang menyusun segala sesuatu. Ia sederhana, tanpa bentuk, tanpa
gerak, tanpa hasrat, tanpa upaya. Ia ada sebelum adanya langit dan bumi. Karena
adanya penciptaan dan berkembangnya peradaban, manusia kian jauh dari Tao jalan yang benar dan penuh
kebajikan spiritual. Karena itu manusia semakin jauh dari kebahagiaan. Semisal,
Tao ibarat kendi penuh walaupun kosong. Darinya orang dapat menimba air tak
habis-habisnya dan tidak perlu mengisinya lagi. Demikian ia, begitu luas dan
alam tidak terhingga. Itulah sebabnya, kita akan kembali ke akar aslinya,
sehingga damai lestari. Dengan Tao seia-sekata menjadikannya baik Tao, tak
terbinasakan, meski raganya lenyap dalam samudera kehidupan, namun ia akan
luput dari segala gangguan.[13]
Kedua, ajaran Tao tentang Te yang
berarti kebajikan itu sendiri. Penganut Taoisme menggunakan perkataan te untuk menyebut
sistem falsafah
atau dasar-dasar mistisismenya. Kata-kata ini sering diberi arti sebagai “virtue” atau“kebajikan”. Namun
pengertian kebajikan sebagaimana dimaksud oleh filosof Taois tidak sama
dengan pengertian yang dimaksud filosof Konfusianis. Kebajikan menurut penganut
Taisme merujuk kepada sifat-sifat atau kebajikan-kebajikan yang bersifat alami,
bukan kebajikan-kebajikan etis yang bercorak kemasyarakatan.
Kebajikan-kebajikan yang bersifat alami itu disebut juga sebagai kebajikan yang
bersifat asli dan naluriah, dan berlawanan dengan kebajikan-kebajikan yang
ditopang oleh pandangan social dan tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang
dari sekolah formal.
Sesuatu yang asli atau alami adalah
sesuatu yang selalu baik sepanjang zaman dan memiliki daya tarik bagi manusia
di seluruh dunia. Keaslian yang dimaksud kaum Taois ialah kesederhanaan atau
kebersahajaan. Hidup bersahaja merupakan jalan yang terbaik untuk kembali
kepada Tao. Bagaimana cara melakukannya.
Ketiga, salah satu ajaran Taoisme yang penting ialah mengenai
kenisbian atau relativisme. Contoh kenisbian dalam kehidupan makhluq
dikemukakan antara lain dalam Kitab Chuang Tze dikemukakan, “Jika seorang tidur
di tempat basah, ketika bangun punggungnya akan merasa sakit dan merasa akan
mati; tetapi apakah juga demikian halnya dengan seekor belut? Jika seorang
mencoba hidup di atas pohon, ia tak akan sadarkan diri sebab ketakutan; tetapi
apakah demikian pula halnya dengan seekor monyet?”
Kenisbian juga berlaku dalam masalah
etika. “Mengenai yang betul dan yang salah, “Demikian halnya” dan “tidak
demikian halnya”. Jika yang betul
itu betul, maka tidak ada alasan untuk berbantah mengenai kenyataan bahwa ia
berbeda dari yang salah; jika ‘demikian halnya’ benar-benar demikian halnya,
mengapa kita harus berbantah mengenai apa sebab berbeda dari ‘tidak demikian
halnya’? Terlepas dari apakah berbagai pendirian yang berbeda itu serasi atau
tidak serasi, bukankah lebih baik kita menyelaraskannya di alam semesta yang
mencakup segala-galanya, dan membiarkannya mengikuti jalannya masing-masing?”
Dan kitab Chuang Tzu pun mengatakan “Mereka yang memahami keadaan kehidupan
tidak akan mengupayakan sesuatu yang tak dapat diberikan kehidupan. Sementara yang
memahami akan nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar
jangkauan pengetahuan”.[14]
G. Taoisme sebagai Filsafat atau Agama?
Para
ahli filsafat di Cina sekarang ini seringkali membedakan antara Taoisme sebagai
filsafat, dan Taoisme sebagai agama. Taoisme sebagai filsafat disebut juga
sebagai Tao Chia, sementara Taoisme sebagai agama disebut juga
sebagai Tao Chiao. Sebagai sebuah ajaran filsafat, Taoisme bersama
dengan Konfusianisme dan Buddhisme mendominasi kehidupan masyarakat Cina pada
abad ketiga setelah Masehi. Ketiga aliran ini disebut juga sebagai “Ketiga
Ajaran” (three teachings). Di dalam masyarakat Cina kontemporer, Konfusianisme
memang memiliki pengaruh yang masih besar, tetapi tidak pernah menjadi sebuah
ajaran yang memiliki institusi resmi, seperti misalnya yang terdapat di dalam
Taoisme.
Sebagai
suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum
Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat
Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum
kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut
juga sebagai wu-wei.
Di
dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas.
Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara
Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada
perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas
tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang
melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang,
ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao
sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai
agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudulClassic of Great
Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung
dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai
„dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti “Saint Ancestor Great Tao
Mysterious Primary Emperor“, dan yang memiliki
status sebagai “Dewa“ (The Divine) itu sendiri.[15]
Perbedaan
dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang
tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa
tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu,
mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama
Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang
dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang.
Pada
titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme
berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang
tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalamTao Te
Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai
hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu
menyatakan, “Orang-orang benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang
mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci
kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan
mati sudah ditakdirkan -sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh
manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”[16]
Jelaslah
bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk
memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di
antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap
transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, dan senantiasa
mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan,
dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami
disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai
agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.[17]
Filsafat
Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya
orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan
berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu
bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai
Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh
lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa
dihapuskan.
Di
sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan
aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”,
demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah
menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua
mereka sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih,
seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang
haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam
mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada
kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme
lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang
sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam
arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda
tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te,
jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
H. Konsep Metafisika Taoisme
Lao
Tzu dapatlah dipandang sebagai perumus sistem pemikiran metafisis pertama di
dalam sejarah intelektual Cina. Fokus dari metafisikanya adalah konsep Tao itu
sendiri. Secara literal, seperti sudah disinggung sebelumnya, Tao berarti
“Jalan”. Definisi yang sangat umum membuat banyak aliran di dalam Taoisme
mendefinisikan implikasi Tao bagi kehidupan bermasyarakat secara amat beragam.
Menurut Lao Tzu, Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta.” Tao, dengan demikian, adalah suatu konsep metafisis.
Tidaklah mungkin mencari padanan kata yang tepat untuk menggambarkan secara
akurat arti dari kata Tao, bahkan di dalam bahasa Cina sekalipun.
Akan
tetapi, ada beberapa deskripsi yang kiranya bisa memberi gambaran yang cukup
memadai tentang Tao. Tao adalah “asal usul yang unik tentang dunia.” Lao Tzu secara eksplisit menulis, “Tao menghasilkan
Yang Satu. Yang Satu menghasilkan yang Dua. Yang Dua menghasilkan yang Tiga,
dan yang Tiga menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.” Tao
adalah sumber utama. Yang Satu (the One) adalah ada yang bersifat
primordial (primordial being), atau Chaos itu
sendiri. Yang Dua disebut juga sebagai yin, atau sisi feminin,
sekaligus yang, atau sisi maskulin. Yinjuga dikenal
sebagai sisi negatif, dan Yang adalah sisi positif. Yang Tiga
adalah kesatuan antara yin dan yang. Selain
menjadi ajaran metafisis di dalam Taoisme, konsep-konsep seperti Tao, yang
Satu, yang Dua, dan yang Tiga ini juga menjadi asal usul dari alam semesta itu
sendiri. Ini adalah kisah penciptaan versi Taoisme.[18]
Tao
menentukan segala sesuatu, dan segala sesuatu bergantung pada Tao. Lao Tzu
sangat yakin, bahwa Tao bersifat universal. Segala sesuatu berasal dari
Tao, dan merupakan pengembangan dari Tao itu sendiri. Tao, dengan
demikian, juga merupakan proses yang bersifat universal dan prinsip tertinggi.
Ini adalah ontologi yang paling mendasar dari Taoisme.
Tao
juga memiliki sifat yang misterius. “Kita memandang Tao”, demikian tulis Lao
Tzu, “tetapi tidak melihatnya. Kita mendengar Tao tetapi tidak mendengarkannya.
Kita menyentuhnya tetapi tidak menemukannya. Bergerak ke atas, tetapi
tidak terang, dan bergerak rendah ke bawah, tetapi tidak gelap. Tidak terbatas
dan tidak bisa diberikan nama apapun.“ Tao
tidaklah bisa dimengerti dengan akal budi dan panca indera manusia, tetapi Tao
itu adalah ada-yang-nyata (real being).
Tao
berada di level yang melampaui pengetahuan biasa yang diperoleh melalui intelek
manusia. Akan tetapi, Tao dapatlah diketahui melalu intuisi. Pengejaran dalam
hal pembelajaran“, bergerak maju dari hari ke hari. Pengejaran dalam hal Tao
menurun dari hari ke hari.“ Untuk menyadari
keberadaan Tao, orang haruslah bergerak melampaui kemampuan kognitif mereka.
Pengenalan atas Tao membutuhkan lebih dari sekedar ketrampilan kognitif biasa
yang dimiliki oleh orang pada umumnya.“ Orang“,
demikian Lao Tzu, dapat melihat Tao Surga tanpa perlu melihat melalui jendela.“
Tao
bergerak secara alami dan spontan. Tao tidak memiliki kehendak ataupun
tujuan. “Manusia”, demikian Lao Tzu, “mendapatkan modelnya dari bumi, bumi dari
surga, surga dari Tao, dan Tao dari spontanitas.” Tao
“menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak mengklaim kredit darinya. Tao memberikan
pakaian dan makanan kepada semua hal tetapi tidak mengklaim menjadi penguasa
atasnya. Tao selalu bergerak tanpa keinginan segala sesuatu datang
kepadanya dan Tao tidak menguasainya”. Jadi, Tao
bergerak secara alami. Akan tetapi, Tao bukanlah seperti Tuhan yang menciptakan
dunia dengan tujuan tertentu. Di dalam Konfusianisme, Tao adalah prinsip umum
yang mengatur moralitas dan politik, sementara Te adalah keutamaan
individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah realitas yang paling ultim
sekaligus prinsip umum dari alam semesta. Sementara, Te adalah
partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang, ketika ia hidup
sesuai dengan Tao.
I. Etika Wu-Wei
Seperti
sudah disinggung sebelumnya, filsafat Lao Tzu sangat kritis terhadap tradisi.
Metode yang ia pakai di dalam berfilsafat pun terkesan tidak umum. Misalnya, ia
menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang saling
berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu
sama lain. “Ada dan Non-Ada”, demikian tulisnya, “menghasilkan satu sama lain,
hal yang susah dan hal yang mudah menyempurnakan satu sama lain; panjang dan
pendek saling berlawanan satu sama lain, sementara depan dan belakang mengikuti
satu sama lain. Dengan begitu, pesan agung yang ingin disampaikan adalah
ketiadaan tindakan, dan menyebarkan doktrin tanpa kata-kata.” Teori
bahwa segala sesuatu yang bertentangan selalu mengandaikan dan mengubah satu
sama lain merupakan dasar dari metafisika Taoisme, sekaligus fondasi bagi
etika wu-wei, yang merupakan inti dari ajaran etika Taoisme.
Aforisme Cina berikut ini menggambarkan dengan jelas pengandaian dasar etika
Taoisme, “Malapetaka adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi kebahagiaan;
kebahagiaan adalah ketika malapetaka menjadi tersembunyi.”[19]
Di
dalam tulisan-tulisannya, Lao Tzu membagi menjadi sekitar tujuh puluh konsep
yang saling bertentangan, namun mengandaikan satu sama lain. Sebagian besar
diantaranya dapat diringkas ke dalam perbedaan antara pasivitas dan aktivitas,
antara kelembutan dan kekerasan, dan antara kompetisi dan kesabaran. Ia
kemudian berpendapat, bahwa pasitivitas itu lebih menguntungkan daripada
aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada kekerasan, dan kesabaran lebih
berguna daripada kompetisi. “Memahami kemuliaan”, demikian tulisnya, “tetapi
sekaligus menjaga kerendahatian, memahami yang putih tetapi juga menjaga yang
hitam.” Karena orang mudah sekali jatuh ke dalam
hal-hal yang berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi
setiap orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu
bergerak ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian
Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.” Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus
pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan
demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan
dari titik yang secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.
Dari
kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika Taoisme yang
ditawarkan oleh Lao Tzu adalahwu-wei, yang dalam bahasa Cina secara
literer berarti tidak adanya tindakan, atau tidak melakukan apa-apa. Hal ini
tidak berarti bahwa orang murni tidak melakukan apapun secara mutlak. “Wu-wei”,
demikian tulis Xiaogan dalam tulisannya tentang Taoisme, “adalah suatu konsep
atau ide yang digunakan untuk menegasi atau mengurangi tindakan manusia.” Dengan kata lain, wu-wei berarti
pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia, terutama tingkah laku
di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei di dalam
Taoisme, mulai dari wu-weisebagai tidak melakukan apapun, wu-wei sebagai
melakukan tindakan seminimal mungkin, wu-wei sebagai tindakan
pasif ke dalam dunia sosial, wu-wei sebagai sikap menunggu
perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan wu-weisebagai bertindak
seturut kondisi obyektif yang hakekat dari permasalahan yang ada. Yang terakhir
ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally).
Semua hal ini, menurut Xiaogan, bisa dipahami dalam satu konsep, yakni konsep
non-tindakan (non-action). Etika wu-wei adalah
etika non-tindakan.[20]
Lao
Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat menciptakan
kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin besar hukum dan
tatanan diberlakukan”, demikian tulisnya, “maka semakin banyak pencuri dan
perampok.. oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak
apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.” Lawan
dari sikap wu-wei adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai
bertindak. Yu-wei ini menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga
menciptakan para pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara
kontras dengan itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama,
harmoni, dan kedamaian. “Sebuah kerajaan”, demikian tulis Lao Tzu, “seringkali
diberikan kepada orang yang tidak melakukan tindakan. Jika orang melakukan
tindakan, maka ia tidak cukup memadai untuk memenangkan sebuah kerajaan.” Kehidupan yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang
menerapkan etika wu-wei ini di dalam hidupnya.
Wu-wei sangat
menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan
ketenangan. Menurut Lao Tzu, nilai-nilai ini sangatlah penting, terutama bagi
orang-orang yang lemah dan tidak beruntung di dalam hidupnya. Dengan
menerapkan wu-wei di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah
bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan
dari sikap wu-wei. “Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao
Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di dunia melalui inilah saya mengetahui
keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.” Di
dalam dunia manusia, menurutnya, negara-negara yang kuat dapat dengan mudah
mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya, negara-negara yang
lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran yang nyata, bahwa
kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan. Walaupun begitu nyata, tetapi orang
begitu cepat lupa dengan hal ini, sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan
kesadaran semacam ini.
Konsep
lainnya yang sangat penting di dalam etika Taoisme adalah tzu-jan,
atau apa yang disebut sebagai spontanitas. Tzu-jan juga bisa
berarti “menjadi alami” (being natural). Karena Tao adalah sesuatu yang
alami, dan segala sesuatu berasal dari Tao, maka segala sesuatu di dunia ini
juga bersifat alami. Dan segala sesuatu yang bersifat alami selalu berjalan
dengan spontanitas. Suatu sikap yang didasarkan pada sesuatu yang tidak natural
biasanya akan berakhir dengan kegagalan. “Kepercayaan bahwa alam semesta dan
kehidupan sosial akan berkembang secara spontan”, demikian tulis Xiaogan,
“adalah fondasi dari teori etika wu-wei, sekaligus fondasi dari
filsafat Tao.” Di dalam penafsiran-penafsiran
kontemporer, tzu-jan juga dipahami sebagai suatu kesadaran
bahwa realitas ini akan berubah tanpa keterputusan total, dan perubahan itu
sendiri akan datang tanpa konflik dan tanpa kekerasan.[21]
J. Taoisme Mistisk
Berkembangnya
Taoisme Mistik (Aliran Shangqing) sebenarnya berupaya untuk menciptakan suatu pengalaman
religius yang lebih mendalam, dengan berusaha untuk mencapai pengalaman mistis.
Ada banyak definisi mengenai pengalaman mistis tersebut, namun secara umum
adalah dengan berusaha mencapai ekstase, atau pengalaman keagamaan yang
melampaui segenap kesadaran indrawi dan logika. Perasaan bahagia luar
biasa yang tidak dapat diterangkan dengan akal juga merupakan sesuatu yang
sering menyertai pengalaman-pengalaman mistis. Ajaran penting lainnya adalah
konsep mengenai apa yang disebut dengan “Yang Tunggal.” Ia tidak dapat dipahami
oleh orang biasa dan merupakan dasar bagi segala sesuatu. Ia melampaui segala
bentuk, suara dan sentuhan,”Yang Satu” itu tidak dapat dijelaskan. Mengapa
begitu? Karena yang dapat dijelaskan bukanlah Tao, melainkan perjalanan hidup
ini sehingga Tao sangat misterius. Misteri itulah yang membuatnya dikenal
sebagai Tao.[22]
Meskipun
tidak dapat dipahami, namun ia hadir dalam diri kita, dan dengan
menyadarinya secara internal kita dapat mencapai kemanunggalan dengan segala sesuatu di sekeliling kita. Tujuan tertinggi umat manusia adalah menyatu dengan “Yang Tunggal” tersebut. Aliran Shangqing mengatakan bahwa tujuan tertinggi dalam hidup adalah menyatu dengan Tao dalam rasa bahagia yang luar biasa serta ekstase. Jadi Tao diidentikkan dengan “Yang Tunggal” tersebut. Mereka juga mengajarkan bahwa di dalam tubuh manusia (pada tiap-tiap organnya) terdapat roh-roh penjaga, menyerap energi bulan dan matahari untuk mencapai keabadian. Itulah sebabnya, perjalanan Tao sangat lembut, penuh dengan misteri, penyerapan pengetahuan yang begitu mendalam.[23]
menyadarinya secara internal kita dapat mencapai kemanunggalan dengan segala sesuatu di sekeliling kita. Tujuan tertinggi umat manusia adalah menyatu dengan “Yang Tunggal” tersebut. Aliran Shangqing mengatakan bahwa tujuan tertinggi dalam hidup adalah menyatu dengan Tao dalam rasa bahagia yang luar biasa serta ekstase. Jadi Tao diidentikkan dengan “Yang Tunggal” tersebut. Mereka juga mengajarkan bahwa di dalam tubuh manusia (pada tiap-tiap organnya) terdapat roh-roh penjaga, menyerap energi bulan dan matahari untuk mencapai keabadian. Itulah sebabnya, perjalanan Tao sangat lembut, penuh dengan misteri, penyerapan pengetahuan yang begitu mendalam.[23]
Sebelum
melanjutkan pembahasan kita, perlu diingat bahwa sesuatu yang disebut “Yang
Tunggal” tersebut menurut Aliran Taoisme Shangqing sekalipun, juga merupakan
kekuatan yang tidak berpribadi (impersonal), sehingga tidak dapat disamakan
dengan Tuhan Personal. Ajaran Aliran Shangqing ini lebih mirip dengan
Brahmanisme, dimana tujuan akhirnya adalah penyatuan dengan suatu esensi
tertinggi impersonal bernama Brahman. Aliran Shangqing meyakini bahwa “Yang
Tunggal” tersebut adalah Tao yang berada dalam diri setiap orang. Ini juga
mirip dengan ajaran Brahmanisme yang mengatakan bahwa tiap makhluk merupakan
pancaran dari Brahman, jadi dari dalam tiap makhluk terdapat Brahman.
Aliran
Shangqing ini didirikan oleh seorang wanita bernama Wei Huacun YuanJun pada
masa Dinasti Jin. Nyonya Wei dikatakan telah menerima pewahyuan dari para dewa
dan mencatat ajaran mereka pada sebuah kitab yang berjudul Shangqing Huangding
Neiqing Yujing (Kitab Klasik Batu Giok Istana Kuning Mengenai Gambaran-gambaran
Internal atas Alam Murni nan Tinggi) pada tahun 288 M. Meskipun demikian
gagasan mengenai adanya roh-roh penjaga pada tiap-tiap organ tubuh manusia
serta penyatuan dengan “Yang Tunggal” telah dikenal sebelumnya. Kitab
Taipingjing yang telah ada sebelumnya menyebutkan: “Jika tubuh berada dalam
ketenangan dan roh dijaga di dalamnya, maka penyakit tidak akan bertambah
banyak. Anda akan berumur panjang, oleh karena roh-roh yang baik melindungi
Anda.”
Pada
kitab komentar atas Tao Te Cing yang ditulis oleh He Shanggong, disebutkan
apabila seseorang dapat membina roh-roh penjaga yang terdapat dalam tubuhnya,
maka ia dapat mencapai keabadian. Kelima roh- roh penjaga yang berdiam dalam
organ manusia itu. Pertama, hati tempat berdiam roh
manusia. Kedua,paru-paru tempat berdiam jiwa manusia. Ketiga,
jantung tempat benih roh abadi. Keempat, limpa tempat berdiam
keinginan-keinginan manusia. Kelima, empedu tempat berdiam
energi pembangun.
[1] Buurhanuddin
Daya, Agama
Dialogis; Merenda Dialektia Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), hlm. 3
[2] M.
Amin Abdullah, Metodologi
Studi Agama (dalam kata pengantarnya), terj. Ahmad
Norma Permata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 11
[3] Livia
Kohn, Taoist
Mystical Philosophy: The Scripture of Western Ascension, (Albany: State University of New York Press, 1991), hlm.
234.
[4] Lao Tzu Adalah orang yang memberikan
dasar pijakan pada perkembangan aliran Taoisme berikutnya. Oleh karena itu Lao
Tzu dalam bahasa oleh para penganutnya diartikan dalam bahasa indonesia sebagai
Sang Guru Tua, Putra Tua, Sahabat Tua. Menurut kitab shiji nama asli Laozi
adalah Lier, nama sopanya adalah Boyang dan nama almarhumnya adalah Dan. Lao
Tzu dikenal banyak kalangan sebagai pencetus ajaran dan konsep pemikiran
tentang Taoisme. Lao Tzu, juga dikenal sebagai tokoh bijak besar Tao dari zaman
kuno yang mampu membawa pencerahan bagi masyarakat Tionghoa, sehingga terhindar
dari kehidupan kelam dan kemewahan yang berlebihan. Bagi Lao Tzu, Jalan Tao
yang dicetusaknnya adalah jalan untuk melihat kesederhanaan dalam kerumitan dan
mencapai keagungan dalam hal-hal yang kecil. Tidak heran bila konsep Tao adalah
sebagai jalan yang menhormati, dan bahkan memuliakan sesama dan alam semesta.
Kebijakan Tzu ini memberikan harapan baru masyarakat Tionghoa guna menciptakan
kesadaran dan kejernihan pikiran terkait dengan aspek kemualiaan dan
penghormatan besar terhadap ajaran baru tersebut. Itulah sebabnya, Lao Tzu
dipandang sebagai nabi yang bertugas memberikan pengarahan dan bimbingan
khsusus bagi masyarakat dunia semuanya. Lew Hee Men, Sejarah
Peradaban Dunia, (Yogyakarta: C.V. Ananda, 2000), hlm. 22.
[5] Kekecewaan Lao Tzu ini, semakin
memberikan keyakinan bahwa masyarakat Tionghoa harus kembali pada ajaran yang
murni yang jauh dari keserahakan dan kesombongan menuju kesederhanaan dan
kemurahan hati yang paling dalam. Itulah sebabnya, Lao Tzu sangat dicintai oleh
masyarakat Tionghoa sendiri, karena kontribusi pemikiran dan ajarannya itulah
kebijakan hidup masyarakat Tionghoa semakin bersemangat untuk mengamalkan dan
mengajarkan konsep-konsep tentang Taoisme itu sendiri sehingga bisa diterima oleh masyarakat dunia.Ibid.
[6] Sebagai
suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum
Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat
Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini
disebut juga sebagai wu-wei. Lihat Solala Towler, Ajaran Tao tentang Cinta, (Yogyakarta: Dolphin Books, 2006), hlm. 9-10.
[7] James
Legge, The Writing
of Kwang-zze (Sacred Books of the East), (London: Reprinted, 1972), hlm. 232.
[8] Tao Te Ching
adalah sebuah buku kecil berisikan filsafat Cina klasik yang sering oleh
penganutTaoisme sebagai “Nabi”nya . “Tao” berarti jalan, dalam arti luas:
realitas absolut yang tidak terselami dasar penyebabnya, akal budi,
logos. “Ching” artinya buku klasik. Buku ini ditulis oleh seorang ilmuwan
berbakat yang bekerja sebagai pengurus arsip kerajaan Tjou bernama Lao Tse
(disebut juga Li Er). Ia sejaman dengan Konfusius yaitu (551-479 Seb. M). Lihat
H.G. Creel, Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius Sampai Mao
Zedong, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hlm. 103-104.
[12] Liu
Xiaogan, “Taoism”, dalam Our
Religions, Arvind Sharma (ed), (New York: Harper
Collins, 1993), hlm. 231-287.
[13] H.
G. Creel, Confucius,
the Man and the Myth, (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1951), hlm. 109.
[15] Dikutip
oleh Xiaogan dari Pao
Pu Tzu Nei-P’ien Chiao-Shih, (Peking:
Chung-Hua Shu-Chu, 1985), hlm. 53.
[16] Dikutip
Xiaogan dari Lao Tzu, dengan berdasar pada terjemahan dari D.C. Lau, Chinese Classics: Tao Te
Ching, (Hongkong: Chinese University
Press, 1982), hlm. 123.
[17] Liu
Xiaogan, “Taoism”, dalam Our
Religions, Arvind Sharma (ed), (New York:
Harper Collins, 1993), hkm. 231-287.
[18] J.C,
Cooper, Yin
dan Yang: The Taoist Harmony of Opposites,
(San Fransisco: The Aqruarian Press, 1981), hlm. 234.
[20] Dikutip
Xiaogan dari Burton Watson, The
Complete Works of Chuang Tzu,
(New York and London: Columbia University Press, 1968), hlm. 78-80.
[22] Anand
Krishna, Mengikuti
Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar